PSIKO TERAPI

Psikoterapi
Dollard dan Miller tidak hanya memperhatikan perkembangan neurosis-neurosis, tetapi juga perawatan atau penanggulangannya. Prosedur-prosedur terapiutik aktual yang dianjurkan oleh Dollard dan Milller sangat tradisional. Ahli terapi harus menjadi sorang pendengar yang simpatik dan permisif, mendorong pasien untuk mengungkapkan semua perasaanya dan bebas berasosiasi.
Sumbangan terbaru dari Dollard dan Miller terletak pada analisis belajar mereka tentang apa yang terjadi dalam psikoterapi yang berhasil. Dalam situasi terapiutik, usaha dilakukan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang akan mengakibatkan terhapusnya emosi-emosi yang tidak menyenangkan itu.
Ahli terapi senantiasa membantu pasien-pasien dalam menjalani proses ini dengan mendorong mereka agar menggunakan sebutan-sebutan verbal untuk membantu mereka membedakan antara pikiran dan tindakan, antara ketakutan-ketakutan yang ada di dalam diri mereka dan kenyataan yang ada diluar, dan antara kondisi-kondisi masa kanak-kanak mereka tempat mereka mempelajari ketakutan dan konflik mereka dan kondisi-kondisi alam kedewasaan mereka kini.
Uraian teoritis tentang proses terapiutik yang dikembangkan oleh Dollard dan Miller ini memiliki berbagai implikasi yang dapat diuji, banyak di antaranya telah terbukti dalam penelitian-penelitian yang menganalisis protokol-protokol terapi pada kasus-kasus aktual. Salah satu dari penelitian-penelitian ini, yang menyangkut pemindahan (displacement), suatu tipe gejala konflik yang kompleks, akan disajikan dalam bagian berikut.

Penelitian Khas dan Metode Penelitian

Konsep pemindahan menempati posisi yang sentral dalam teori psikoanalitik, dan biasanya digunakan untuk menunjuk kapasitas organisme untuk mengalihkan respon-respon atau impuls-impuls ke objek baru manakala mereka itu tidak mungkin disalurkan ke objekaslinya. Menurut teori Dollard dan Miller, gajala ini dapat dijelaskan dengan sangat mudah menggunakan konsep generalisasi stimulus. Dalam serangkaian eksperimen, Miller telah berusaha memperlihatkan gejala empiris itu, menunjukkan kontinuitas antara generalisasi stimulus dan pemindahan, dan memberikan penjelasan teoritis yang akan memungkinkan mengajukan predeksi-prediksi baru mengenai peristiwa-peristiwa ini.
Dalam psikoanalitik, subjek-subjek tersebut mengalihkan rasa permusuhan mereka terhadap rasa eksperimenter pada anggota minoritas itu; dalam istilah S-R, mereka menggeneralisasikan suatu respon dari suatu objek stimulus ke objek stimulus serupa. Bagaimanapun penelitian itu menunjukkan bahwa gejala yang dibicarakan benar-benar terjadi pada subjek manusia dan dapat ditimbulkan dalam eksperimen.

Beberapa Teori Serupa

Teori-teori rintisan dari Dollard dan Miller, bersama teori dari tokoh-tokoh seperti O. Hobart Mowrer (1950, 1953) dan Robert R. Sears (1944, 1951), terbukti sangat berpengaruh merangsang usaha-usaha lebih lanjut untuk memperluas prinsip-prinsip belajar ke dalam bidang perkembangan kepribadian dan psikoterapi.
Pandangan-pandangan Wolpe dan Eysenk lebih menarik dibandingkan dengan pandangan-pandangan Dollard dan Miller. Telah kita lihat, Dollard dan Miller sangat dipengaruhi oleh pemikiran psikoanalitik dan mengakui kesahihan banyak dari wawasan-wawasan yang dikemukakan oleh para pengikut Freud. Mereka berusaha menggabungkan dua tradisi dengan memasukkan ke dalam literatur teori psikoanalitik konsep-konsep teori balajar yang kokoh dan lugas. Wolpe dan Eysenk menolak tipe pendekatan ini, dan mengemukakan pandangan bahwa seperangkat prinsip belajar sederhana yang teruji di laboratorium cukup untuk menjelaskan proses pemerolehan banyak gejala kepribadian. Mereka berpendapat bahwa metode-metode tradisional psikoterapi memiliki kekurangan baik dari segi dasar teoritis maupun dasar praktisnya.
Wolpe, seorang psikiatet yang mendapatkan pendidikan kedikterannyapada Universitas Witwatersrand di Afrika Selatan (M.B., 1939; M.D., 1948), memiliki pengalaman bertahun-tahun melakukan praktik psikoterapi. Selama 10 tahun terakhir dalam periode ini, dia juga bertugas sebagai dosen di bidang psikiatri pada Universitas Witwatersrand, tempat ia mengadakan penelitian-penelitian laboratorium tentang neurosis eksparimental pada binatang dan mengembangkan sejumlah teknik terapi tingkah laku.
Wolpe dan Eysenk belum pernah menjalin hubungan kerja sama yang erat, tetapi mereka memiliki banyak kesamaan. Sesuai dengan latar belakangnya dalam bidang psikiatri, Wolpe membatasi sebagian besar minatnya di bidang kepribadian pada berbagai bentuk psikoneurosis. Jalan yang berbeda telah menuntun Eysenk pada minat yang sama seperti Wolpe, yaitu penerapan teori belajar untuk memahami sebab-sebab neurosis dan perawatannya. Dalam serangkaian penelitian yang dilakukan terhadap sekelompok besar subjek normal dan subjek neurotik (Eysenk, 1947) dengan teknik analisis faktor ia berhasil menemukan dua dimensi kepribadian yang fundamental: neurotikisme dan introversi-ekstraversi. Dalam suatu program penelitian yang lebih kemudian, Eysenk (1952b) menambahkan variabel psikotikisme sebagai dimensi fundamental lain, sehingga terdapat tiga tipe kepribadian.
Baik Eysenk maupun Wolpe menyetujui bahwa meskipun individu-individu dapat berbeda satu dengan yang lain dalam taraf kecenderungan mereka untuk mengembangkan kecemasan neurotik berdasarkan dasar bawaan merka, semua tingkah laku ini sangat berbeda denagn teori psikoanalitik klasik, sebagaimana mereka nyatakan sendiri.
Sangat berbeda dengan model medis, kami memiliki model tingkah laku, yang menjadi dasar terapi tingkah laku (Eysenk dan Rachman, 1965). Model ini dengan sangat sederhana mempostulasikan bahwa semua tingkah laku dipelajari, dan bahwa tingkah laku yang ‘tak normal’ dipelajari menurut hukum-hukum yang sama seperti tingkah laku ‘normal’. Teori psikoanalitik mempostulasikan bahwa konflik tak sadar antara kekuatan-kekuatan instingtif dan proses-proses pertahanan ego merupakan inti neurosis. Reaksi-reaksi kecemasan yang dibangkitkan oleh berbagai stimulus ini menyebabkan individu melakukan respon-respon lebih lanjut lagi yang tidak jarang mengakibatkan reduksi kecemasan secara cepat.
Wolpe dan Eysenk sependapat bahwa individu-individu yang menderita kecemasan-kecemasan neurotik sering mengembangkan respon-respon yang setidak-tidaknya menyebabkan individu-individu itu untuk sementara terbebas atau terhundar dari emosi-emosi yang tidak menyenangkan ini. Tetapi tidak semua simtom memiliki fungsi ini. Teori-teori Wolpe tentang neurosis pada manusia sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil serangkaian eksperimen yang dilakukannya pada kucing-kucing selama akhir tahun 1940-an, dan yang didorong oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh psikiater Jules Masserman (1943).
Wolpe merumuskan prinsip berikut: “Jika suatu respon yang berlawanan dengan kecemasan dapat dibuat muncul pada waktu terdapat stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan sehingga respon itu dibarengi oleh ditekannya respon-respon kecemasan itu seluruhnya atau sebagian, maka ikatan antara stimulus-stimulus ini dan respon-respon kecemasannya akan diperlemah”. (Wolpe, 1958, hlm. 71). Wolpe melihat prinsip ini sebagai contoh spesifik dari suatu prinsip yang lebih umum, yakni inhibisi resiprokal (reciprocal inhibition). Menurut rumusan Wolpe, inhibisi resiprokal menunjuk pada situasi di mana “dibangkitkannya suatu respon mengakibatkan berkurangnya kekuatan untuk membangkitkan suatu respon lain secara serentak” (Wolpe, 1958, hlm. 29)
Wolpe yakin bahwa neurosis-neurosis pada manusia yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari pada hakikatnya mengikuti hukum-hukum yang sama seperti neurosis-neurosis eksperimental dari binatang-binatang laboratoriumnya. Ia menyarankan beberapa respon yang berlawanan dengan kecemasan dan telah merancang atau menggunakan teknik-teknik terapiutik yang didasarkan pada masing-masing respon itu. yang paling luas digunakan di antara teknik-teknik ini adalah “assertiveness training” dan “systematic desensitization”. “Assertiveness training”, yang semula dikemukakan oleh Salter (1949), adalah suatu metode untuk menghilangkan (deconditioning) kecemasan individu-individu yang terlalu malu-malu dan takut-takut untuk memberikan respon yang sesuai dalam situasi-situasi antar pribadi.
Desensitisasi sistematik sangat mirip dengan tipe prosedur-prosedur “counterconditioning” yang digunakan Wolpe untuk mengatasi neurosis-neurosis yang ditimbulkan oleh kejutan pada binatang-binatang percobaannya. Terapinya berupa menyuruh individu-individu supaya santai, kemudian membayangkan sehidup-hidupnya setiap adegan atau peristiwa pada hirarki kecemasan mereka sambil tetap sanatai. Keberhasilan desensitisasi mendorong sejumlah peneliti untuk melakukan berbagai pengujian eksperimental secara serius terhadap dalil-dalil teoretis Wolpe, mengajukan teori-teori tandingan untuk menjelaskan keberhasilan dari desensitisasi, maupun melakukan berbagai pengembangan atau modifikasi atas teknik tersebut.
Apabila organisme menemukan bahwa tak ada jalan untuk menghindari atau menangkal peristiwa-peristiwa aversif-artinya, bahwa perkuatan dan tingkah laku tidak saling tergantung maka bisa timbul suatu reaksi yang oleh Seligmen disebut ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Salah satu akibat ketidakberdayaan ialah gangguan emosional. Ketidakberdayaan juga menyebabkan berkurangnya motivasi. Yang lebih serius, ketidakberdayaan dapat mengakibatkan defisit kognitif (cognitive deficit) yang mengganggu kapasitas organisme untuk mempersepsikan hubungan antar respon dan perkuatan dalam situasi-situasi lain yang bisa dikontrol. Penelitian-penelitian eksperimental tentang ketidakberdayaan yang dipelajari dapat berfungsi sebagi sejenis model laboratorium depresi sebagaimana terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam salah satu eksperimen yang memberi gambaran paling jelas, Hiroto dan Seligman (1975) tidak hanya mendemostrasikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada subjek manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan yang tak dapat dikontrol yang menyebabkan ketidakberdayaan tidak harus merugikan secara fisik.
Pengalaman-pengalaman hidup yang menyebabkan sejumlah orang mudah sekali menjadi tak berdaya tidak diketahui, tetapi perbedaan dalam hal kerentanan itu terbukti berhubungan dengan jawaban orang pada suatu tes kepribadian (Rotter, 1966) yang mengukur keyakinan tentang letak kontrol atas perkuatan (locus of control of reinforcement), internal versus eksternal (Hiroto, 1974; Dweck dan Reppuci, 1973) individu-individu yang “eksternal”. Yakni yang berkeyakinan bahwa apa yang tejadi pada diri mereka dalam hidup ditentukan oleh nasib dan berada di luar kontrol mereka, lebih besar kemungkinannya untuk menjadi tak berdaya menghadapi peristiwa-peristiwa pengganggu yang tak dapat dielakkan dibandingkan dengan individu-individu yang “internal”, yakni mereka yang memandang nasib peruntungan mereka sebagian besar berada di tangan mereka sendiri.
NOTA ORDER (SUFIJAYA SEMARANG)

TULIS NAMA BARANG YANG DIPESAN :

1. jumlah pesanan 2. Nama produk *
Contoh : 10 tuntunan sholat penerbit toha putra + 10 keistimewaan asmaulhusna di jaman modern penerbit sufijaya
Keterangan
contoh : tuntunan sholatnya yang kecil, yang harganya 4000 (jika tidak ada kosongi saja)

TULIS BIODATA LENGKAP PENGIRIMAN(untuk menentukan ongkos kirimnya)

Nama lengkap *
Alamat lengkap *
Nomer telpon / handphone *

REKENING REFUND (PENGEMBALIAN UANG) PELANGGAN

Dibutuhkan jika tiba2 terjadi setelah pelanggan transfer mendadak stok habis maka kami mengembalikan uang transfer sepenuhnya tanpa potongan. jika rekening refund menyusul lewat sms maka di kosongi saja

NAMA BANK

contoh : BRI KCP cab tlogosari semarang
Atas Nama :
Contoh : Tahif Mustabiq Sufi
Nomer rekening :
contoh : 1138-01-002149-50-1
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image: [Refresh Image] [What's This?]