Hasyim Asy’ari dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Dunia Pesantren (Telaah Kritis terhadap Model Pendidikan Klasik)

Hasyim Asy’ari dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Dunia Pesantren
(Telaah Kritis terhadap Model Pendidikan Klasik)

I. Pendahuluan
Sebagai salah satu organisasi yang terbesar di Indonesia saat ini. Latar belakang berdirinya NU sendiri sebenarnya tidak lepas dari kerasnya politik kolonial dan semakin suramnya kondisi politik, ekonomi, social dan budaya pada masa penjajahan Belanda yang kemudian menyebabkan kebangkitan Islam di Nusantara. Ini mendorong penduduk pribumi untuk mengubah perjuangan melawan Belanda dari strategi militer ke perlawanan yang damai dan terorganisir. Terbentuklah berbagai organisasi yang bertujuan meningkatkan kondisi ekonomi, pendidikan, dan social masyarakat luas. Perkembangan ini dipengaruhi oleh kebangkitan Islam yang dipelopori Jamaludin al Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang idenya masing-masing mengenai Pan-Islamisme dan pembaharuan pendidikan telah menyebar ke berbagai dunia Islam termasuk Indonesia. Perubahan ini didorong oleh peningkatan orang yang berhaji ke Mekkah dan belajar ke Kairo.
Akan tetapi semangat pembaharuan menyebabkan perpecahan umat Islam di Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu modernis dan tradisionalis. Kelompok pertama berusaha meremajakan Islam agar dapat menyerap kemajuan barat dalam sains dan pengajaran, disamping itu tetap mencoba memurnikan ajaranya dan meningkatkan kesadaran beragama pemeluknya. Gerakan ini membahayakan muslim tradisionalis yang memiliki corak madzhab Islam yang terdapat di Jawa. Menurut Dahm, ada dua kelompok gerakan Islam nasional di Indonesia. Yaitu yang menolak ajaran empat madzhab Sunni dan yang berusaha meningkatkan peran Islam dan pemikiran Islam dengan tetap berpegang pada ajaran empat madzhab. KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) termasuk kelompok yang terakhir. Sedangkan H.O.S. (Haji Oemar Said) Cokroaminoto (1882-1934), pemimpin besar Syarekat Islam (SI), K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Persatuan Islam (Persis) termasuk kelompok pertama . Sebagai kelompok yang berusaha meningkatkan peran dan pemikiran Islam di Indonesia peran KH Hasyim Asy’ari sangatlah besar sehingga atas jasa-jasanya pemerintah menobatkanya sebagai pahlawan perjuangan nasional.
II. Pembahasan
A. Biografi
Nama Lengkapnya adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim yang dijuluki (Pangeran Benowo) bin Abdurrahman yang dijuluki Joko Tingkir (Sultan Hadi Wijoyo) bin Abdullah bin Abdullah Aziz bin Abdullah Fatah bin Maulana Ishaq ayah Raden Ainul Yaqin yang masyhur dengan nama Sunan Giri. . Hasyim dilahirkan pada 24 Dzul Qa’dah 1287 H atau dalam kalender Masehi 14 Februari 1871 di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, Asy’ari, adalah pendiri pesantren Keras. Ayahnya adalah keturunan kedelapan dari penguasa kerajaan Islam Demak, Jaka Tingkir, Sultan Pajang pada tahun 1568, yang merupakan putra Brawijaya VI, penguasa Kerajaan Majapahit pada seperempat pertama abad XVI di Jawa . ,dan kakeknya, Kyai Usman adalah seorang ulama terkenal pendiri pesantren Gedang dan juga seorang pemimpin tarekat pada akhir abad XIX. Pesantren kenamaan ini mendidik ratusan santri yang datang dari seluruh Jawa . Pesantren Tambak Beras sendiri didirikan moyang Kyai Hasyim. Yaitu Kyai Sihah. Lingkungan yang penuh ilmu inilah yang membentuk karakter ilmuwan Hasyim Asy’ari. Ia anak ketiga dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah. Sewaktu mengandung, Halimah pernah bermimpi melihat bulan jatuh ke dalam kandungannya. Mimpi ini ditafsirkan sebagai tanda bahwa anaknya kelak menjadi berkah bagi orang tuanya.
B. Latar Belakang Pendidikan
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Diantara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan dibawah asuhan Kyai Cholil. . Upaya Hasyim ini didasarkan atas semangatnya untuk memperoleh disiplin ilmu yang berbeda di pesantren-pesantren lain, karena dalam kenyataanya setiap pesantren memiliki spesialisasinya sendiri. Pesantren Tremas di Pacitan misalnya, dikenal sebagai pesantren ‘ilm al ‘alah (struktur dan tata bahasa serta literature arab dan logika) sementara pesantren Jampes di Kediri dikenal luas sebagai pesantren Tasawuf.
Akhirnya, pada tahun 1891 Hasyim tiba di Pesantren Siwalan Pandji Sdoharjo. Pesantren yang dekat dengan Surabaya ini diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan. Terkesan dengan kecerdasan santri baru ini, sang Kiai menawarkan anaknya, Khadijah, kepada Hasyim, yang kemudian dinikahi pada tahun 1892. model pernikahan semacam ini sangat biasa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat bisa diharapkan mengangkat kualitas pesantren di masa mendatang. Disamping itu, pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan dari dua pesantren menjadi lebih kuat, karena hubungan tersebut dibangun tidak hanya atas dasar elemen keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga. Lebih dari itu, keluarga dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan dan kekuatan kultur santri. Pernikahan keluarga kiai serta focus keislaman dari ikatan ini telah membentuk bagian budaya pesantren. Karena sebagian besar para kiai di Jawa saling memiliki hubungan, maka ikatan pernikahan bisa berarti menjaga kalangan elit religius Jawa. Namun, sifat utama dan misi dari para kiai harus diperhatikan secara mendalam, yakni tugas menyeru kepada masyarakat untuk mengikuti prinsip-prinsip Islam dan menunaikan ibadah dengan penuh ketaatan. Tugas keagamaan ini akan menjelaskan motivasi dari intermarriage (antar perkawinan) ini secara lebih baik. Dalam hal ini akan menunjukkan perspektif yang lebih baik dan akurat karena kehidupan pesantren berarti kehidupan religius 24 jam sehari .
Pengembaraan Hasyim di beberapa pesantren di Jawa dan Madura menjadikannya sosok ulama yang menguasai fiqh, bahasa Arab, tafsir dan hadits dengan baik. Sekalipun demikian dahaganya terhadap ilmu belum terpuaskan. Ia mengobatinya dengan pergi ke Hijaz untuk belajar kepada ilmuwan-ilmuwan besar disana. Di Makkah mukaramah Hasyim mula-mula belajar kepada Syaikh Mahfudz at Termasy, ulama hadits yang berasal dari Indonesia. Dibawah bimbingan Syaikh Mahfudz, ia mempelajari shahih Bukhori hingga mendapatkan ijasah mengajar. Ia juga mempelajari tarekat Qodiriyah dan Naqsyabandyah darinya .
Sepulangnya dari Haramain pada tahun 1900. Kiai Hasyim membantu mengajar di Pesantren ayahnya. Ia kemudian berisiatif mendirikan pesantren di Tebuireng. Biaya pembangunannya atas usahanya sendiri. Untuk memulainya ia membawa delapan orang santri dari pesantren ayahnya. Dan dalam waktu tiga bulan saja, santrinya bertambah menjadi 28 orang .
Mendirikan pesantren di Tebuireng adalah salah satu bukti kegigihan Kiai Hasyim dalam berdakwah. Sebab waktu itu Tebuireng termasuk daerah hitam. Penduduknya dikenal suka berjudi dan mabuk-mabukan. Dengan mendirikan pesantren di daerah yang minus pengetahuan agama tersebut. Kiai Hasyim tertantang untuk merubah pola kehidupan masyarakatnya. Awalnya penduduk yang tak suka dengan kehadiran Kiai Hasyim berusaha mengintimidasi. Bahkan mereka tak segan-segan menggunakan cara kekerasan. Namun dengan sikap arif dan lembut, Kiai Hasyim berusaha melakukan pendekatan dengan mereka. Sehingga secara perlahan hubungan pesantren dengan penduduk sekitar berangsur membaik. Kearifan dan keteladanan Kiai Hasyim mampu meluluhkan kekerasan hati mereka .
Kiai Hasyim adalah seorang ulama ahli hadits. Dia mempunyai sanad kitab Bukhori yang bertalian dengan pengarangnya. Sanad ini didapat dari gurunya, Syaikh Mahfudz. Karena itulah pesantrennya dikategorikan sebagai pesantren tingkat tinggi saat itu. Kebanyakan santrinya adalah mereka yang telah menguasai nahwu dan fiqh yang kemudian ingin memperdalam pengetahuan hadits. Diantaranya adalah Kyai Wahab Hasbullah, Kiai Chudlori Tegalrejo, Kiai As’ad Syamsul Arifin .

C. Usaha Pembaharuan Kiai Hasyim di bidang Pendidikan
Seperti kebanyakan kiai lain, Kiai Hasyim Asy’ari juga membantu para santri seniornya untuk mendirikan pesantren sendiri. Hal ini terjadi ketika seorang santri dianggap cukup mampu membangun lembaga baru, Kiai Hasyim biasanya mengatur perkawinannya dengan anak seorang kaya yang dapat membiayai pembangunan pesantren baru untuk santri bersangkutan. Pembangunan pesantren baru biasanya dimulai dengan pendirian mushola. Kiai Hasyim juga menyediakan murid-murid tingkat dasarnya untuk membantu mendirikan pesantren baru, suatu tradisi yang ia peroleh ketika mendirikan pesantren Tebuireng. Dengan menjalankan hal diatas Kiai Hasyim melaksanakan tiga tujuan : membantu murid-murid beliau yang memerlukan, memperluas pengaruh santri muslim di pedesaan dan meletakkan pondasi bagi tersebar luasnya reputasi beliau sebagai seorang ulama yang berpengaruh
Kiai Hasyim juga mengutus asisten-asisten pengajar beliau, yang biasanya masih keluarga dekat.untuk tugas belajar ke pesantren-pesantren lain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mereka. Abdul Wahid putra beliau dan Ilyas, sepupu beliau sebagai contoh dikirim ke Pesantren Siwalan Panji untuk belajar tasawuf, fiqh dan tafsir Al Quran selama dua tahun. Kiai Hasyim juga melatih Abdul Wahid sebagai asisten pribadi beliau, mengirim dia ke berbagai pesantren sebelum melanjutkan belajarnya ke Mekkah pada 1932 selama tiga tahun untuk belajar dan beribadah haji. Ketekunan, kepandaian dan pengetahuan Wahid mendorong kiai Hasyim memilihnya sebagai wakil di organisasi-organisasi tingkat nasional seperti MIAI dan Masyumi. Juga kepandaian Wahid dalam bahasa Arab, Belanda dan Inggris serta Melayu dan Jawa membuatnya dapat mengemban tugas-tugas tersebut dengan mudah. Dalam pesantren sendiri dia membantu ayahnya menyusun kurikulum, menjawab pertanyaan-pertanyaan lewat surat mengenai hokum Islam, dan memberi khotbah dan berbicara pada forum-forum ilmiah.
Melalui proses konsultasi dengan asisten-asisten pengajar beliau, Kiai Hasyim Asy’ari yang mempunyai pemikiran terbuka, setuju dengan beberapa perubahan di Pesantren. Kiai Ma’sum, menantu beliau, sebagai contoh memperkenalkan system madrasah di Pesantren pada 1916 seizin Kiai Hasyim. Kiai Ma’sum juga telah menulis buku tentang nahwu dan matematika. Meskipun demikian pembaharuan tidak menghilangkan metode pengajaran tradisional semacam halaqah dan sorongan yang masih tetap digunakan Kiai Ma’sum menjadi kepala madrasah yang berdiri sendiri yang terdiri dari 6 tingkatan yaitu kelas persiapan selama setahun dan lima tahun program madrasah. System ini untuk menanggulangi salah satu kelemahan system tradisional yang tidak bisa mengontrol kehadiran siswa dengan baik. Dalam kelas persiapan, siswa di beri pengajaran bahasa Arab secara intensif sebagai dasar yang penting untuk belajar di tingkat lanjutan. Kurikulum madrasah ini sampai tahun 1919 terdiri hanya mengajarkan pelajaran agama, setelah itu pelajaran matematika dan geografi diberikan .
Perubahan juga dimotori oleh keponakan Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ilyas, yang memulai memberikan pelajaran Bahasa Belanda dan pelajaran sejarah mulai tahun 1926. sejak 1929, pesantren mulai berlangganan berbagai surat kabar berbahasa Melayu agar dibaca oleh para santri, suatu pembaharuan yang masih kontroversional ketika itu karena bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf latin masih merupakan asing bagi masyarakat Jawa. Di Madrasah, Kiai Ilyas mengajar bahasa Melayu (Indonesia), geografi, dan Sejarah Indonesia. Buku-buku yang dipakai dalam pengajaran ini ditulis dalam huruf latin. Akan tetapi bahasa Arab tetap terus dipergunakan untuk pengajaran Sejarah Islam. Penggunaan bahasa selain bahasa Arab merupkan perubahan radikal dari tradisi pesantren yang menganggap bahwa bahasa Arab merupakan bahasa suci yang harus dikuasai oleh ilmuwan muslim. Kiai Ilyas juga bekerja keras untuk menghapuskan anggapan yang salah bahwa mempelajari pelajaran umum adalah haram. Sikap apresiatif Kiai Ilyas terhadap pelajaran umum dipengaruhi oleh latar belakangnya sendiri sebagai lulusan sekolah model Belanda yang mengajarkan pelajaran-pelajaran ini. Meskipun demikian, pembaharuan-pembaharuan ini tidak tanpa hambatan, pembaharuan ini ditentang keras oleh orang tua santri sehingga mereka menarik anak-anak mereka dari pesantren Tebuireng. Meskipun demikian Kiai Ilyas tetap tegar dengan pembaruan ini walaupun menghadapi tantangan dari banyak orang. Selama pendudukan Jepang, pesantren Tebuireng juga mengajarkan bahasa Jepang dan latihan militer. Kiai Hasyim sendiri tidak akan setuju dengan pembaruan yang dilaksanakan oleh para pembantu beliau apabila dianggap akan berakibat buruk terhadap pesantren. Sebagai contoh, beliau menolak rencana penggantian system pengajaran bandongan dengan system tutorial yang sistematis yang diajukan oleh putera beliau, A. Wahid, setelah kembali dari Mekkah pada 1933. beliau menolak rencana ini dengan pertimbangan bahwa pembaruan ini bisa menyebabkan keresahan di kalangan guru .
Akan tetapi, Kiai Hasyim Asy’ari menerima beberapa perubahan pada madrasah yang diberi nama baru dengan Madrasah Nizhamiyah pada 1934. masa belajar di madrasah ini ditambah menjadi 6 tahun sebab pelajaran non-agama lebih banyak dimasukkan ke dalam kurikulum yang merupakan 70% dari seluruh mata pelajaran yang ada. Bahasa Inggris juga diajarkan dengan lebih intensif. Wahid Hasyim juga mendirikan perpustakaan yang kemudian memiliki 1000 judul buku. Dia juga berlangganan beberapa surat kabar yang diterbitkan oleh kalangan modernis muslim seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Adil, Nurul Islam, dan Al Munawarah. Oleh kalangan nasionalis sekuler seperti Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat serta oleh kalangan tradisionalis seperti Berita Nahdhatul Ulama. Dari fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa Kiai Hasyim berusaha menyesuaikan Pesantren Tebuireng dengan tuntutan zaman modern, sembari menjaga tradisi masa lampau yang masih baik. Beliau adalah seorang pemimpin yang pragmatis .

D. Murid-murid Kiai Hasyim
Kebesaran seorang kyai tidak saja diukur dari jumlah santri yang diberi pelajaran, tetapi juga jumlah santri yang kemudian menjadi kiai dan pemimpin masyarakat. Dengan standar ini, K.H. Hasyim Asy’ari adalah contoh yang paling berhasil mengingat begitu banyak santri yang kemudian menjadi ulama terkenal : Kiai Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU, Kiai Abbas, pendiri pesantren Buntet, Kiai As’ad Syamsul Arifin, pendiri pesantren Sukorejo, Kiai Bisri Syamsuri, Pendiri Pesantren Denanyar, Kiai Manaf Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo untuk menyebut beberapa saja. Juga Kiai Masykur yang selama dua tahun belajar di Pesantren Tebuireng, dan Saifuddin Zuhri, seorang alumni yang lain, kemudian menjadi Menteri Agama pada masa Demokrasi Terpimpin. Zuhri menyebut Pesantern Tebuireng sebagai “kiblat” pesantren di Jawa. Kenyataannya, pada 1942, ada sebanyak 20.000 ulama yang merupakan lulusan Pesantren Tebuireng.

E. Guru-guru Kiai Hasyim
Selain belajar di Berbagai Pesantren di Indonesia. Hasyim juga belajar di Mekkah pada tahun 1893 selama 6 tahun. Dikota suci ini, Hasyim menjadi murid dari :
1. Syaikh Mahfuz at-Tirimisi. Dia dikenal luas oleh para santrinya sebagai seorang ahli dalam hal kitab Shahih Bukhori berikut seluruh sanadnya.dari gurunya ini Hasyim memperoleh ijazah untuk mengajar kitab tersebut . Pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi penerima karya ini .
2. Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Dibidang fiqh, Hasyim belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang ulama ahli falak, hisab dan aljabar.
3. Syaikh Nawawi Al-Bantani yang berpredikat “Sayyid Ulama Al-Hijaz”.
4. Syaikh Abd al-Hamid ad-Dururstabi
5. Syaikh Muhammad Syu’aib al-Maghribi.
6. Sayid Abbas Al-Maliki Al-Hasani
7. Sayid Bakrie Satha
8. Sayid Husein al-Habsyi
9. Habib Alawi bin Ahmad as-Segaf
10. Syaikh Sultan hasyim Dagistani .
F. Karya-karya Kiai Hasyim.
Hayim Asyari adalah penulis yang produktif. Sebagian besar ia menulis dalam bahasa Arab dalam berbagai bidang ilmu seperti tasawuf, fiqh dan hadits. Sampai sekarang sebagian kitab ini masih dipelajari di pesantren . Diantara karya-karyanya adalah
1. Adabul ‘Alim wal Muta’allim (Akhlaq Guru dan Murid)
2. Risalatul Jami’ah (Kitab Lengkap)
3. Ziyadatut Ta’liqat ‘ala Manzumat asy-Syaikh Abdullah b Yasin al-Fasuruwani (Catatan tambahan mengenai Syair Syaikh Abdullah b. Yasin Pasuruan)
4. Tanbihat al Wajibat
5. Hasyiyah ‘ala Fathir Rahman, sebuah komentar terhadap Ar-Risalat al-Wali Ruslan Syaikh al-Islam az-Zariyyat al-Anshari.
6. Durarul Munqatsirah fi al-Masa’il at-Tis’ Asyarah (Mutiara-mutiara mengenai sembilan belas masalah)
7. Risalah at-Tauhidiyyah (Catatan tentang Teologi) yaitu tentang Ahlussunnah wal Jama’ah.
8. Al-Mawaiz (Nasehat), mengajak muslim untuk bersatu dan bekerja bersama.
9. Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin.(Cahaya Terang tentang Cinta Kepada Rasul), menjelaskan arti cinta kepada Rasul.
10. At-Tibyan fi an-Nahi an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhawan (Penjelasan mengenai larangan memutuskan hubungan kekerabatan dan persahabatan)
11. Hadits al-Mawt wa ‘Asrat as-Sa-ah (hadits mengenai Kematian dan Kiamat)

III. Peran Kiai Hasyim dalam Mewujudkan Berdirinya Organisasi Nahdlatul Ulama.

Pada tahun 1924, Kiai Abdul Wahab Chasbullah mendirikan Tashwirul Afkar, sebuah kelompok diskusi yang peduli dengan berbagai gejolak yang dihadapi umat Islam kala itu. Selanjutnya, kelompok ini berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang lingkupnya lebih besar. Kiai Wahab kemudian secara pro aktif mewacanakan ide tersebut dalam berbagai kesempatan kepada ulama-ulama di Jawa. Para ulama menyambut baik ide tersebut. Hanya saja Kiai Hasyim Asy’ari, ulama paling berpengaruh saat itu belum menunjukkan persetujuannya. Merasa telah mendapatkan dukungan yang banyak, Kiai Wahab kemudian minta restu kepada Kiai Hasyim untuk mendirikan Jam’iyah. Namun gurunya tersebut tidak serta merta merestui. Kiai Hasyim lebih dahulu shalat istikharah guna memohon petunjuk Allah SWT. Dan setelah beberapa bulan lamanya, Kiai Hasyim tak kunjung mendapatkan petunjuk ..
Sementara itu di Madura, guru Kyai Hasyim, Kyai Kholil yang terkenal tajam mata hatinya, mengamati keresahan hati murid terbaiknya tersebut. Ia pun memerintahkan salah satu muridnya. As’ad untuk menyerahkan sebuah tongkat dan membacakan ayat-ayat Al Quran (surat At Taubah ayat 17 – 23) pada Kyai Hasyim. Dengan segera As’ad pergi ke Tebu Ireng. Setelah menghadap Kyai Hasyim. Ia pun menyerahkan tongkat titipan Kyai Kholil dan membacakan ayat-ayat yang diwasiatkannya. Kyai Hasyim dengan cerdas menangkap syarat gurunya tersebut. Namun ia masih belum seratus persen yakin dengan pendirian Jam’iyah .
Untuk kedua kalinya Kyai Kholil menyuruh As’ad menghadap Kyai Hasyim. Kali ini ia menitipkan sebuah tasbih kepadanya dan isyarat gurunya yang terakhir ini ditanggapi Kyai Hasyim dengan penuh perasaan. Ia menjadi lebih mantap melangkahkan kaki untuk mendirikan Jam’iyah. Akhirnya pada 16 Rajab 1344 H atau tepatnya tanggal 31 Januari 1926. berdirilah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebuah organisasi yang dikemudian hari menjadi organisasi social terbesar di dunia. Pada awal berdirinya, jam’iyyah ini berfungsi sebagai benteng ahlusunnah wal jamaah menghadapi derasnya pengaruh aliran-aliran baru, terutama aliran Wahabi dari Najed, Arab Saudi.
Kiai Hasyim Asy’ari merupakan pemimpin pertama organisasi ini dan dianggap sebagai pemimpin agung (Rais Akbar). Kharisma dan kepemimpinan beliau sangat mendukung perkembangan organisasi ini. Dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang, Jawa Timur. Kiai Hasyim pernah belajar di berbagai pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan lanjutan ke tanah Hijaz. Beliau kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan Pesantren Tebu Ireng di Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Pesantren ini kemudian menelurkan banyak kiai yang menjadi pendukung aktif NU.
Latar belakang ideologis kelahiran NU tetap menjadi titik tekan, yakni untuk mempertahankan dan melindungi sunisme melawan setiap serangan. Untuk melawan kebijakan pendidikan pemerintah colonial diwujudkan dalam penyabaran semangat nasionalisme di kalangan anggotanya. Semangat Hubb al-Wathan, sebuah semangat membela Negara dalam pengertian yang tepat yakni hasrat untuk merdeka. Telah tertanam kuat di kalangan anggota NU pada awal perkembanganya. Semangat nasionalisme ini juga dimanifestasikan dalam nama-nama baru madrasah, untuk semakin memperkokoh rasa “cinta tanah air”, seperti Nahdhat al-Wathan, Akh al-Wathan, dan Ahl al-Wathan .
Sebagaimana Hasyim, secara histories NU tetap konsisten melawan kaum colonial. Watak ini sama sekali tidak berbeda dengan pesantren pada umumnya. Tidaklah mengherankan jika pada saat ini terdapat suatu ungkapan umum bahwa NU adalah sebuah pesantren besar. Secara serius NU meminta anggotanya melalui fatwa-fatwa untuk tidak berpakaian seperti kaum colonial. Beberapa kebijakan pemerintah Belanda ditolak dengan tegas oleh NU seperti pemberian subsidi, perlindungan terhadap para penyumbang darah dan bagi yang membantu pihak militer, dan keterlibatanya di dalam system pendidikan nasional. Kiranya tidak berlebihan untuk disimpulkan bahwa NU adalah manifestasi dari komunitas pesantren yang terorganisir, karena organisasi ini bermaksud mengakomodir setiap kepentingan dan orientasi sosio-religius maupun politik komunitas pesantren. Bahwa kelahiran NU di Pesantren Tebuireng dengan secara aklamasi memilih Hasyim sebagai ra’is am pertama NU sejak tahun 1926 hingga wafat tahun 1947, merupakan indikasi lain hubungan mutual ini.
Sebagaimana diketahui bahwa baik Kiai Hasyim maupun Kiai Abdul Wahab selalu mencari jalan untuk mempersatukan umat Islam dalam sebuah ikatan agama. Sebagai buktinya saat bangsa Indonesia di pecah belah akibat penjajahan yang berkepanjangan, maka atas prakarsa Kiai Hasyim Asy’ari dan KH Mas Mansur (Muhammadiah) mempersatukan umat / bangsa Indonesia dengan didirikannya Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) pada 20 September 1937 M, dimana semua organisasi Islam baik politik maupun bukan bersatu dibawah panji MIAI yang dipimpin oleh kedua tokoh tersebut yang pemikirannya berseberangan satu sama lain. Hal ini mereka perbuat demi kesatuan dan persatuan bangsa guna mewujudkan cita-cita tunggal yaitu memperoleh kemerdekaan Indonesia .



DAFTAR PUSTAKA


Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara, Cet. III, Januari 2008

Mas’ud Abdurrahman, Intelektual Pesantren, Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara, Cet. I, Februari 2004

Fahmi, Muhammad Ulul, Ulama Besar Indonesia, Kendal : Pondok Pesantren Al Itqon, Cet. I, Juli 2007

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, Cet. I, November 2007

Cahaya Nabawi, Sirah “Hadratussyech Hasyim Asy’ari”, Edisi No. 61 Th. VI Rabiul Akhir 1429 H / Mei 2008 M
NOTA ORDER (SUFIJAYA SEMARANG)

TULIS NAMA BARANG YANG DIPESAN :

1. jumlah pesanan 2. Nama produk *
Contoh : 10 tuntunan sholat penerbit toha putra + 10 keistimewaan asmaulhusna di jaman modern penerbit sufijaya
Keterangan
contoh : tuntunan sholatnya yang kecil, yang harganya 4000 (jika tidak ada kosongi saja)

TULIS BIODATA LENGKAP PENGIRIMAN(untuk menentukan ongkos kirimnya)

Nama lengkap *
Alamat lengkap *
Nomer telpon / handphone *

REKENING REFUND (PENGEMBALIAN UANG) PELANGGAN

Dibutuhkan jika tiba2 terjadi setelah pelanggan transfer mendadak stok habis maka kami mengembalikan uang transfer sepenuhnya tanpa potongan. jika rekening refund menyusul lewat sms maka di kosongi saja

NAMA BANK

contoh : BRI KCP cab tlogosari semarang
Atas Nama :
Contoh : Tahif Mustabiq Sufi
Nomer rekening :
contoh : 1138-01-002149-50-1
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image: [Refresh Image] [What's This?]