PENGENALAN NILAI-NILAI HAM DAN APLIKASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM
I. Pendahuluan
Di Era Globalisasi saat ini, HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu isu yang sangat menyedot perhatian dan menjadi agenda yang makin penting, terutama di dunia ketiga, termasuk dunia Islam. Isu HAM bahkan menjadi factor pertimbangan kebijakan luar negri suatu Negara. Lebih dari itu keharusan adanya penghormatan terhadap HAM ini menjadi pra-syarat dalam hubungan internasional. Suatu Negara yang dinilai dan diketahui mengabaikan HAM, dapat dipastikan ia akan menjadi sasaran kritik dan diisolir dari pergaulan antar bangsa. HAM disini dimaksudkan sebagai hak-hak tertentu, yang melekat secara eksistensial dalam identitas kemanusiaan tanpa melihat kebangsaan, agama, jenis kelamin, status social, pekerjaan, kekayaan atau karakteristik etnik, budaya dan perbedaan social lainnya.
Konsep deklarasi PBB ini kemudian mengalami elaborasi lanjut dengan diratifikasinya tiga persetujuan/perjanjian, yakni Convenant on Civil an Political Riht (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik): Convonent on Economic, Social and Cultural Right (Perjanjian Internasional tetang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Optinal Protokol to the International Convonent on Civil and Political Right. Ketiganya disetujui secara aklamasi dalam sidang umum PBB pada akhir tahun 1966 .
Konsep HAM seperti diatas dan berbagai perjanjian yang mengikutinya memperlihatkan bahwa masyarakat manusia dipandang dalam kacamata sekularisme, dan agama tidak dapat didifinisikan sebagai tatanan yang mengikat masyarakat, Negara dan hubungan Internasional. Hukum-hukum dipandang sekular, independent dari otoritas agama tertentu. Sebuah hukum mendapatkan legalnya dengan penerimaan manusia diatasnya (legislasi), dan itu berarti tidak sakral dan terikat oleh waktu.
Menurut The Universal Declaration of Human Right, kompetensi yang dimiliki semua agama di dunia benar-benar hanya terletak pada pilihan bebas seseorang (pasal 18), dan keputusan-keputusan keluarga (pasal 26:3) serta pilihan orang tua mengenai pendidikan anak-anak mereka. Tetapi agama tidak punya kompetensi apa-apa terhadap hukum. Karena hukum harus ditegakkan secara adil tanpa memperdulikan agama yang dianut atau tidak dianut seseorang. Basis otoritas pemerintah adalah kehendak rakyat, kedaulatan manusia dan bukan sesuatu yang bersifat ilahiyah .
Disebabkan otoritasnya yang sekuler itulah, makan konsep HAM modern diatas menimbulkan respon yang bervariasi serta kontroversional dikalangan dunia Islam. Ditolak atau tidaknya konsep HAM PBB, tergantung kepada bagaimana kaum muslim memandang kompleks persoalan sekitar syari’ah. Setidaknaya ada tiga tanggapan dunia muslim terhadap konsep HAM. Pertama, menolak secara keseluruhan, kedua, menerima secara keseluruhan dan ketiga, merupakan tanggapan yang bersifat ambigu yang mencerminkan adanya keinginan untuk tetap setia pada syari’ah di satu sisi dan keinginan intik menghormati tatanan serta hukum-hukum internasional yang ada disisi lain. Sikap pertama didasarkan pada keyakinan mereka bahwa syari’ah bersifat sacral, independent dan sekaligus mengatas kondisi histories dimana dan kapan ia pertama kali diwahyukan. Karena syari’ah menurut mereka merupakan system hidup yang paling benar dan sempurna. Konsekwensi logis dari pandangan ini adalah bahwa HAM PBB, dipandang sebagai sesuatu omong kosong dan bertentangan dengan Islam. Sebab menurut kelompok ini sejarah Barat yang melahirkan konsep HAM PBB di samping identik dengan agama Kristen, juga dinodai oleh praktek-praktek yang menodai HAM. Karena itu menurut mereka Islam haruslah membangun versi HAM-nya sendiri .
Sikap kedua, yaitu menerima terhadap HAM PBB secara total. Sikap ini didasarkan pada pandangan bahwa The Universal Declaration of Human Right dan perjanjian internasional lainnya merupakan hasil dari elaborasi terhadapnya, adalah bagian dari khasanah kemanusiaan dan karenanya tidak perlu adanya semacam justifikasi Islam terhadapnya. Pendukung kelompok ini lebih jauh menyatakan bahwa tidak ada subyek yang paling terkait dengan konsep HAM. Sebab keadilan akan sama sekali tidak berarti jika hak-hak fundamental seseorang tidak diakui atau dilanggar oleh masyarakat. Bahkan Asghar Ali Engineer, pemikir Islam dari India, berpendapat bahwa deklarasi HAM PBB dapat digunakan sebagai kerangka yang cukup baik untuk menyatakan apa yang dipandangnya sebagai HAM menurut Islam. Pendapat yang hampir sama dikemukakan Bassam Tibbi, sarjana pemikir sekaligus seabagai aktivis HAM di dunia Arab mengatakan bahwa HAM PBB, adalah suatu piagam yang pada dirinya sendiri luhur tidak mungkin ditolak dan karenannya perlu dicarikan upaya kemungkinann pencantolan Deklarasi HAM PBB dalam konteks local tertentu terutama Islam lewat sekularisasi .
Sikap ketiga, penerimaan setengah-setengah dan penolakan setengah-setengah terhadap HAM PBB. Kelompok ini meyakini bahwa syari’ah bersifat kekal, universal dan harus dijadikan landasan hidup. Namun bukan berarti harus menolak deklarasi HAM PBB.
Deklarasi HAM PBB dapat diakomodasi dengan beberapa prasyarat. Hal ini lebih dikarenakan filosofi yang berbeda antara Negara-negara Barat yang secular dengan Negara-negara muslim yang tidak bisa melepaskan aspek syariat. Maka untuk menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM sekaligus menyusun suatu formulasi yang sejalan dengan syariat.
II. Pembahasan.
A. Pendidikan Islam.
Pengertian Pendidikan Islam.
Istilah pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat dan bangsa. Dngan demikian, makna pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) yang akan diuraikan selanjutnya menurut bahasa Islami (bahasa islam memang benar-benar ada), maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian dasar dari kata “pendidikan” dan “Islam”. Kata “pendidikan” yang sering kita gunakan, dalam bahasa Arabnya adalah al-Tarbiyah atau Tarbiyah dan sering tertulis serta diucapkan dengan Tarbiyah dapat dijelaskan sebagai berikut :
Berasal dari kata dasar “robba – yurabbi – tarbiyyatan” yang berarti tumbuh dan berkembang (al-Munjid).
Menurut Muhammad Munir Marisy di dalam kitab bahasannya “al-Tarbiyya al-Islamiyah” mengemukakan bahwa tarbiyyah berasal dari kata dasar robba – yarubbu – tarbiyyatan yang berarti “tumbuh dan bertambah”. Sejalan dengan perngertian dasar “tarbiyah” tersebut maka Ahmad Warson di dalam analisanya mengemukakan bahwa tarbiyyah berarti namaa, wa zaada atau tumbuh dan bertambah”
Selanjutnya menurut Ibnu Manzhur yang pernah merekam bentuk “tarbiyyah” bersama dengan bentuk lain, dari akar kata “roba” dan “robba” yang maknanya sama dengan akar kata “ghodza” dan ghodwa” yang maknanya menurut al-Asma’I dan al-Jauhari berarti memberi makan, memelihara, dan mengasuh. Makna ini juga menurut Ibnu Manzhur dapat mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh, seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya.
Tujuan Pendidikan Islam
Penyelenggaraan pendidikan Islam harus sejalan dengan tujuan pendidikan Islam. Menurut beberapa ahli, tujuan pendidikan Islam dirumuskan dengan redaksi berbeda-beda. yaitu
a. Hamdani Ali merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai pengabdian diri
manusia kepada pencipta alam, dengan tidak melupakan kehidupan dunia.
b. Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany merumuskan tujuan pendidikan Islam
adalah
1) Tujuan Individual yaitu pembinaan pribadi muslim yang berpadu pada perkembangan segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual, dan social
2) Tujuan social yaitu tujuan yang berkaitan dengan bidang spiritual, kebudayaan dan social kemasyarakatan.
c. M. Athiyah el-Abrasy mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah :
1) Pembentukan akhlak yang mulia
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan akherat
3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan dari segi pemamfaatanya.
4) Menumbuhkan ruh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu.
5) Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia muda untuk mencari rezeki.
6) Imam Al Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kesempurnaan insani di dunia dan akherat. Manusia akan mencapai keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia dan mendekatkanya kepada Allah, sehingga ia akan mendapatkan
kebahagiaan di akherat
B. Hak Asasi Manusia
Secara harfiah, kata hak berarti “kewenangan untuk melakukan sesuatu.” Sedangkan kata kewajiban berarti “sesuatu yang harus dilaksanakan.” Adapun kata asasi berasal dari kata asas yang berarti dasar, alas atau fondasi, yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Kemudian kata ini mendapat imbuhan akhiran “i” lalu menjadi asasi. Kata asasi bermakna sesuatu yang bersifat dasar atau pokok. Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang dimiliki oleh seseorang yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pilihan hidupnya. Berbeda dengan hak adalah kewajiban yang merupakan wujud dari sebuah tanggung jawab atas beban yang dipikulkan kepadanya, sehingga menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu sejalan dengan tuntutan itu. Karenanya kata kewajiban mengisyaratkan tak ada lagi pilihan buat seseorang kecuali hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya .
Secara histories, ide tentang HAM berasal dari gagasan tentang hak-hak alami. Oleh karenanya HAM dianggap sebagai bagian dari hakekat kemanusiaan yang paling fundamental. Di dunia barat ide tentang HAM merupakan hasil perjuangan kelas social yang menuntut tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan persamaan.
Perjuangan kelas tersebut secara kronologis tercermin dengan lahirnya Magna Carta (Piagam Agung) pada 15 Juni 1215 di Inggris, sebagai bagian pemberontakan para baron Inggris terhadap raja Jhon. Disusul dengan Bill of Right pada tahun 1689 yang di Inggris berisi penegasan pembatasan kekuasaan raja .
Kemudian disusul dengan The American Declaration of Indefende (Deklarasi Kemerdekaan Amerika) pada 6 Juli 1776 yang berisi…”That all men are create equal, that they are ini edowed by their Creator by certain un alaineble right, that among these are lift, liberty ang pursuit of happiness…” lalu disusul Declaration des droit de I’ home et du cetoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis, 4 Agustus 1789 dengan slogan yang popular pada waktu itu : liberte, (kebebasan), Egalite (Persamaan) dan Faternite (Persaudaraan) sebagai bentuk perlawanan dan penolakan terhadap rezim yang berkuasa sebelumnya.
Proses pertumbuhan HAM mencapai puncaknya, ketika perang dunia II usai, PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang didukung oleh sebagian besar anggota PBB mendeklarasikan The Universal of Human Rights yang berisi 30 pasal, deklarasi ini dimulai dengan “Mukaddimah”. Pasal 1 dan 2 berisi pernyataan umum mengenai bahwa manusia mempunyai hak yang didapatkan sejak lahir dan tanpa diskriminasi tanpa dasar apapun. Pasal 3 hingga pasal 21 berkaitan dengan ekonomi social (termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan mendirikan serikat buruh, anak-anak memiliki hak dan keamanan social dan pendidikan) dan hak-hak yang bersifat cultural (termasuk akan kebebasan kesadaran dan beragama, yang meliputi hak yang bertukar agama dan memanifestasikan agama). Tiga pasal terakhir (28 hingga 30) menegaskan kebutuhan akan sebuah kerangka kerja dimana hak-hak diatas dapat direalisasikan. Seorang individu tidak saja menikmati haknya tetapi juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Setiap orang harus tunduk kepada beberapa retriksi legal (pemborosan, pemubaziran) yang diadakan untuk menjamin agar diakui dan dihormatinya hak-hak dan kebebasan orang lain. Tidak ada satu Negarapun yang punya hak istimewa untuk berbuat apa saja yang dapat melanggar hak-hak dan kebebasan manusia.
III. Aplikasi Pelaksanaan Nilai-nilai HAM dalam dunia pendidikan Islam
Formulasi HAM versi Islam yang paling terkenal adalah deklarasi universal tentang HAM dalam Islam (Al-bayan Al-A’lam ‘an Huquq Al Insan fi Al-Islam). Deklarasi ini diundangkan pada September 1981 di Paris. Deklarasi ini mengandung beberapa karakteristik yang berbeda, jika dibandingkan dengan The Universal Declaration of Human Right (HAM PBB). Pertama, adalah klaimnya, bahwa Islam memiliki konsep HAM yang guine yang sudah dirumuskan bahkan sejak abad ketujuh Masehi. Kedua, bahwa seluruh isi deklarasi itu dirumuskan berdasarkan Al Quran dan sunnah. Dengan asumsi, bahwa akal manusia tidak akan mampu menemukan jalan terbaik untuk menopang kehidupan yang sejati tanpa petunjuk Tuhan. Ketiga, bahwa sejatinya apa yang dimiliki manusia bukanlah hak-hak yang dibawanya sejak lahir, melainkan preskripsi-preskrtipsi yang dititahkan kepada manusia, yang didapat atau uang dideduksi dari sumber-sumber yang ditafsirkan sebagai titah-titah Ilahi yang meliputi kewajiban dan hak. Oleh karenanya apa yang disebut dengan HAM pada dasarnya adalah kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan atau hak-hak Tuhan kepada manusia. Keempat, bahwa syari’at adalah merupakan parameter terakhir dan satu-satunya untuk menilai semua tindakan manusia. Deklarasi yang hampir-hampir sama ditemukan pada rumusan Cairo Declaration of Human Right in Islam. Deklarasi ini diumumkan pada tahun 1990 oleh Negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Deklarasi ini baru bisa disetujui oleh semua anggotanya setelah dilakukan perdebatan diantara mereka selama 13 tahun. Deklarasi kairo ini terdiri dari 25 pasal yang mencakup hak-hak individu, social, ekomomi dan politik. Semua hak dan kebebasan yang terdapat dalam deklarasi ini tunduk kepada syariat. (pasal 25). Hak-hak sipil dan politik terdiri dari, misalnya hak memperoleh persamaan dalam hokum (pasal 19), hak untuk hidup yang merupakan pemberian Tuhan (pasal 21). Dan hak untuk mengemukakan pendapat secara bebase, jauh lebih bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah (pasal 22). Hak-hak social dan ekonomi terdiri dari, misalnya, hak untuk memperoleh pendidikan (pasal 9), hak untuk bekerja (pasal 13), hak untuk memiliki harta (pasal 15), hak untuk kehidupan yang layak (pasal 17), hak untuk memperoleh hidup dalam keamanan untuk diri seseorang, agama, tanggungan, kehormatan dan hartanya (pasal 18), dan sebagainya . Sedang dalam dunia pendidikan islam penulis beranggapan bahwa dari uraian bermacam-macam hak yang dimiliki oleh setiap orang dan perlu dihormati oleh siapa saja maka kita dapat menyimpulkan dan merumuskan sebagian dari aplikasi pelaksanaan HAM dalam dunia pendidikan dengan penjelasan berikut ini :
a. Dalam Islam pendidikan merupakan hak setiap manusia baik itu laki-laki atau perempuan. Sehingga baik laki-laki maupun perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam belajar.
b. Dalam kegiatan proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan islam yang maksimal maka perlu adannya pemisahan kelas antara siswa laki-laki dan perempuan. Karena Bagi laki-laki dan perempuan walaupun memiliki Hak dan Kewajiban Setara tapi Tidak Sama.
“…..dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” (QS. Ali Imran : 36)
Menurut Al Qabisi , bahwa pendidikan bagi anak-anak perempuan merupakan suatu keharusan, sama dengan pendidikan anak laki-laki, meskipun harus dipisah keduanya antara jenis kelamin, yang dibenarkan oleh agama, (namun sekarang ini banyak diabaikan) .
Dalam hal pemisahan kelompok antara dua jenis kelamin di lembaga-lembaga pendidikan ini masih dipermasalahkan, ada yang pro dan ada yang kontra. Pada hakekatnya orang yang pro (setuju) kelas campuran adalah mereka yang berpikiran bebas yang berpegang pada ijtihad perorangan. Pendapat mereka itu sebenarnya dapat diselesaikan sesuai ajaran agama yang diistimbatkan pada ulama ahli fiqh dan ahli-ahli piker yang berpegang pada nas-nas agama. Yang perlu diperhatikan secara serius dalam masyarakat Islam adalah menegakkan kewajiban memisah antara jenis laki-laki dan perempuan, mengajak kepada umat untuk menjaga kehormatan dan petunjuk dari Al Quran tentang siksaan pedih terhadap pezina laki-laki dan perempuan. Ancaman ini menimbulkan salah paham di antara sesame para ahli pendidikan, mereka ada yang berpendapat bahwa pendidikan untuk anak perempuan tidak perlu diselenggarakan .
Walaupun demikian, Al Qabisi, memberikan pandangan baru tentang problema tersebut. Yakni anjuran agar mendidik atau mengajar anak-anak perempuan sama porsinya dengan pendidikan anak laki-laki dengan syarat memisah tempat . Karena dengan bercampurnya siswa laki-laki dan siswa perempuan akan memudahkan timbulnya nafsu syahwat sehingga fenomena pacaran di kalangan remaja (baik yang disebabkan karena jatuh cinta pada pandangan pertama atau yang jatuh cinta setelah sering berjumpa) menjadi marak dan kemudian ketika remaja-remaja tersebuit kurang memperhatikan batas-batas dalam berpacaran maka akan mengakibatkan banyaknya kehamilan di luar nikah. Dan ini berarti tanpa kita sadari kita telah “berjasa” dalam mengarahkan mereka kepada pergaulan bebas.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yusuf :53).
c. Keseimbangan antara materi ilmu Agama dan ilmu Umum. Pentingnya Ilmu Agama tidak menjadikan kebutuhan siswa untuk mempelajari ilmu umum menjadi terabaikan, sehingga perlu adanya pembagian jatah waktu belajar yang optimal agar kedua kebutuhan siswa untuk belajar ilmu umum dan agama bisa terpenuhi.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi” (QS. Al Qashash : 77)
Menurut Al Kilani yang merupakan tokoh pemikir pendidikan dari Yordania, mengatakan bahwa memisahkan agama dari ilmu dianggap sebagai wujud pereduksian dan pendangkalan makna agama, sedangkan memisahkan ilmu dan agama sebagai bentuk pendestruksian peran ilmu. Dalam catatan sejarah pernah juga terjadi di masa kerajaan Turki Ustmani bahwa madrasah yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di kerajaan Utsmani. Di madrasah itu hanya diajarkan pengetahuan agama. Sedang pengetahuan umum tidak diajarkan sama sekali. Sultan Mahmud II (1785-1839) menyadari bahwa madrasah-madrasah tersebut tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu ia berusaha untuk memperbaiki system pendidikan madrasah yang ada agar anak-anak bisa mendapatkan pelajaran pengetahuan umum. Namun mengadakan perubahan dalam kurikulum madrasah dengan memasukkan pengetahuan-pengetahuan umum pada waktu itu sangat sulit. Karena itu ia mendirikan dua sekolah pengetahuan umum yang berdiri sendiri terpisah dari system madrasah tradisional yang ada. Kedua sekolah itu adalah :
1. Sekolah Pengetahuan Umum (Mekteb-I Ma’arif)
2. Sekolah Sastra (Mekteb-I Edebiye).
Disamping Bahasa Arab, siswa di kedua sekolah tersebut juga diajari bahasa Prancis, ilmu bumi, ilmu ukur, sejarah, dan politik. Mekteb-I Ma’arif mendidik siswa menjadi pegawai administrasi, sedangkan Mekteb- Edebiye menyediakan tenaga penerjemah untuk urusan pemerintah, yang nantinya amat berperan penting dalam upaya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan modern dari Eropa. Selain itu Sultan Mahmud mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik, Sekolah Kedokteran, dan Sekolah Ilmu Bedah.
Di Indonesia sendiri ketentuan tentang pendidikan agama dan umum dalam RUU Sisdiknas dapat dilihat pada Pasal 33 (2) dan Pasal 12 (1). Pasal 33 (2) menegaskan tentang wajibnya pendidikan agama dan umum di sekolah. Secara lengkap pasal tersebut menyebutkan :
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, kewarganegaraan, sejarah, bahasa Indonesia, matematika, sain dan teknologi, ilmu pengetahuan social, serta seni dan olahraga”
d. Kebebasan untuk memilih jurusan yang ingin di tekuni sesuai dengan minat dan bakat masing-masing siswa
Dalam RUU Sisdiknas Pasal 12 (1) menjelaskan tentang hak setiap peserta didik terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Pasal tersebut menyebutkan :
(1) Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak :
1. mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,
2. mendapat perlakuan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
3. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang sejajar.
4. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing.
Apabila di cermati, ada perbedaan yang cukup signifikan mengenai ketentuan pendidikan agama di sekolah menurut UU No.2 Tahun 1989 dan RUU Sisdiknas tersebut. Pertama, menurut UU No.2 Tahun 1989, pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib bagi setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan mulai dari pra sekolah (TK/RA) hingga pendidikan tinggi (FT), sedang menurut RUU Sisdiknas, pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib bagi pendidikan dasar (SD/SLTP) dan pendidikan menengah (SLTA), sedang untuk pendidikan pra sekolah dan perguruan tinggi tidak disebutkan yang berarti tidak diwajibkan.
Kedua, dalam UU No.2 Tahun 1989 tidak diatur ketentuan tentang hak setiap peserta didik terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Sedang dalam RUU Sisdiknas diatur secara tegas seperti tercantum pada pasal 12 ayat 1 diatas.
Pasal 12 (1) inilah yang hingga sekarang masih menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit antara pihak-pihak yang pro dan kontra. Pihak yang pro jelas mendukung pasal tersebut untuk dipertahankan, sedang yang kontra mengusulkan untuk dihapus. Mereka berpendapat bahwa pasal tersebut tidak sejalan dengan isu HAM dan pluralisme keagamaan yang sekarang sedang berkembang dimasyarakat.
IV. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang telah penulis sampaikan maka bisa diambil kesimpulan bahwa :
1. Dalam menanggapi konsep perumusan HAM versi PBB dunia Islam masih belum bisa menerima sepenuhnya terkait latar belakang yang masih identik dengan paham sekuler dan praktek yang tidak selalu sesuai dengan apa yang telah di sepakati dalam butir-butir perjanjian HAM.
2. Nilai-nilai HAM dalam ruang lingkup yang lebih luas bisa diaplikasikan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan dan pemberian kesempatan bagi siapa saja untuk menempuh jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat yang ingin ditekuninya.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abdur Rahman. dkk, Pendidikan Islam di Indonesia,Yogyakarta : Suka Press, Cet. I, September 2007
___________, Internasionalisasi Pendidikan, Yogyakarta : Gama Media, Agustus 2003.
Amrullah, Abdul Malik Karim dan Djumransjah, Pendidikan Islam, Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi, Malang : UIN-Malang Press.
Al Munawar, Said Agil Husin, Al Quran, Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press. .Cet. IV November 2005.
Al Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta : PT Rineka Cipta, Cet. II, Juli 2002
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. I, Januari 2008
As Saidi, Abd Al Mutaal, Kebebasan Berpikir dalam Islam, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, Cet. I, September 1999.
Shahin, Emad Eldin, Modernisasi Bukan Westernisasi, Yogyakarta : Madani Pustaka Hikmah, Cet. I, November 2002.
4 Undang-Undang RI No. 35, 39, 36, 40 Tahun 1999, Jakarta : BP. Cipta Jaya, 1999
Putra, Dalizar, Hak Asasi Manusia Menurut Al Quran, Jakarta : Al Husna Zikra, Cet. II, 1995
UUD 1945 dan Amandemen, Solo : Giri Ilmu
Hak Asasi Manusia dalam rumusan hasil Deklarasi PBB pada tanggal 10 Desember 1948
1. Memiliki kesamaan hak dan martabat yang sama sejak lahir tanpa membeda-bedakan status (Pasal 1 dan 2)
2. Hak untuk hiduo, memperoleh kemerdekaan dan jaminan keamanan (Pasal 3)
3. Hak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan (Pasal 4)
4. Hak untuk dilindungi dari penganiayaan yang tidak berprikemanusiaan (Pasal 5)
5. Hak mendapat pengakuan di depan hukum (Pasal 6)
6. Hak memperoleh perlindungan dari sikap diskriminasi dalam hokum (Pasal 7)
7. Hak mendapat perlakuan yang layak oleh pengadilan dan hukum (Pasal 8 dan 9)
8. Hak mendapat perlakuan yang netral dari pengadilan (Pasal 10)
9. Hak memperoleh perlindungan dari tuduhan palsu (Pasal 11)
10. Hak Perlindungan terhadap urusan pribadinya dari campur tangan orang lain (Pasal 12)
11. Hak untuk tinggal di berbagai Negara (Pasal 13)
12. Hak untuk memperoleh Suaka dari Negara lain (Pasal 14)
13. Hak untuk memperoleh Kewarganegaraan (Pasal 15)
14. Hak untuk membentuk keluarga dan menentukan pasangan yang akan dinikahinya tanpa paksaan (Pasal 16)
15. Hak untuk memperoleh perlindungan terhadap harta pribadi (Pasal 17)
16. Hak untuk dihormati kebebasanya dalam memilih dan melaksanakan kegiatan agama dan kepercayaanya (Pasal 18)
17. Hak untuk dihormati kebebasanya dalam berpendapat (Pasal 19)
18. Hak untuk memiliki, mengikuti atau tidak mengikuti suatu perkumpulan (Pasal 20)
19. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (Pasal 21)
20. Hak memperoleh jaminan sosial (Pasal 22)
21. Hak mendapatkan pekerjaan, memperoleh upah yang layak dan membentuk atau bergabung dengan serikat-serikat kerja (Pasal 23)
22. Hak untuk memperoleh waktu libur, pembatasan jam kerja dan liburan berkala dengan tetap mendapat upah (Pasal 24)
23. Hak memperoleh Pendidikan yang layak (Pasal 26), yang secara lengkap akan diuraikan
Article-26
1. Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally a vailable. Higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.
2. Education shall be directed to the full development of human personality and to the streng then in of respect for human right and fundamental freedom. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations and racial or religious groups and shall further the activities of the United Nations for maintenance of peace.
3. Parent have the prior right to choose the kind of education that shall be given to their children.
Pasal 26
1. Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus diberikan dengan cuma-cuma, setidaknya pada tingkat yang rendah dan dasar. Pendidikan harus diwajibkan. Pendidikan tehnik dan kejuruan harus terbuka secara umum bagi semua orang. Pendidikan yang lebih haruslah memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang berdasarnkan kecerdasanya.
2. Pendidikan haruslah diarahkan kepada perkembangan yang penuh untuk kepribadian manusia dan untuk memperkuat penghormatan akan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus dimajukan saling pengertian, toleransi dan persaudaraan antar bangsa, ras ataupun kelompok-kelompok agama dan harus meningkatkan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk memelihara perdamaian.
3. Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih macam pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
24. Hak untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan ilmiah dalam masyarakat dan perlindungan terhadap hak cipta (Pasal 27)
25. Hak untuk memiliki wewenang akan tertib social dan internasional (Pasal 28)
26. Hak untuk mendapatkan kebebasan di dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB (Pasal 29)
27. Hak untuk dilindungi dari campur tangan orang lain yang bermaksud untuk merusak hak-hak dan kebebasan yang dimilikinya seperti yang tercamtum dalam pasal-pasal yang telah disebutkan dalam deklarasi PBB (Pasal 30)
Hak Asasi Manusia dalam Rumusan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Undang-undang Dasar 1945 yang kita miliki setelah kita merdeka, telah memberikan perhatian dan pencerminan perjuangan hak-hak asasi manusia. Akan tetapi Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat secara terperinci keterangan tentang jaminan hak-hak asasi manusia. Hanya 4 pasal dari 37 pasal yang memuat ketentuan jaminan hak-hak asasi manusia, yaitu :
1. Hak mendapatkan kedudukan yang sama di depan hokum dan dalam pemerintahan (Pasal 27 ayat 1) dan hak warga Negara atas pekerjaan yang layak (Pasal 27 ayat 2)
2. Hak berserikat dan berkumpul (Pasal 28) dan hak menyatakan pandapat (Pasal 28)
3. Hak kebebasan beragama (Pasal 29)
4. Hak mendapatkan pendidikan (pasal 31)
Apabila kita selalu mengikuti perkembangan pendidikan Islam di negara kita, kita akan melihat kenyataan bahwa Pendidikan Islam yang dalam hal ini diwakili Pesantren Tradisional banyak yang kemudian mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman sehingga kemudian berubah menjadi Pesantren Modern. Hal ini terjadi karena di Pesantren Tradisional banyak memiliki kebiasaan dan aturan yang apabila terus diterapkan akan banyak mengakibatkan pesantren menjadi makin ditinggalkan. Dari perspektif UUD 45, hal-hal yang menjadi kekurangan dari pesantren tradisional yang perlu di perbaiki adalah
1. Tidak adanya model kurikulum yang jelas karena semua kebijakan tergantung pada otoritas Kyai sebagai bentuk penerapan dari pola feudal-religius dan tidak menetapkan system yang jelas untuk mengatur pesantrennya. Sehingga banyak pesantren yang ketika Kyainya sudah tidak ada pesantrennya menjadi bubar karena sebelumnya kebesaran pesantrenya begitu tergantung pada kebesaran otoritas dan kharisma Kyainya bukan pada sistem. padahal untuk menghasilkan system pengelolaan pesantren yang baik Kyai dan para santrinya perlu berkumpul bersama dalam merumuskan sisterm yang terbaik yang bisa diterapkan di pesantrennya (sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28)
2. Kebebasan pendapat kurang dihargai karena dalam pesantren sangat diajarkan bahwa santri harus selalu tunduk dan patuh kepada perintah gurunya padahal selain kewajiban patuh dan taat pada guru atau kyai Islam juga mengajarkan pentingnya bermusyawarah dalam mengambil suatu keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. (Hal itu bisa diartikan bahwa pesantren banyak yang belum sepenuhnya mengamalkan hak-hak santru sebagai warga Negara Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 28 dari UUD 45)
3. Materi pendidikan yang diajarkan lebih banyak bermuatan agama, dan pendidikan umum kurang mendapat tempat, sehingga kualitas kelulusan pada pesantren tradisional banyak yang tidak siap dalam menghadapi tantangan zaman. (Hal itu bisa diartikan bahwa pesantren banyak yang belum sepenuhnya mengamalkan hak-hak santri sebagai warga Negara seperti yang tercantum dalam pasal 31 dari UUD 45 karena pesantren tradisional atau salaf umumnya lebih berorientasi untuk selalu mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pendidikan umum)
4. Pendidikan wiraswasta atau bisnis, keahlian dan ketrampilan dalam bekerja belum banyak diajarkan karena adanya kekhawatiran dari sebagian pengasuh pesantren bahwa dengan memberikan pendidikan wirausaha akan membuat santri menjadi lebih condong kepada duniawi sehingga mengabaikan nilai-nilai atau materi ukhrawi. ((Hal itu bisa diartikan bahwa pesantren banyak yang belum sepenuhnya mengamalkan hak-hak santri sebagai warga Negara seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 2 dari UUD 45 tentang kesempatan tiap warga Negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak)
Hak Asasi Manusia dalam Rumusan Undang-Undang Republik Indonesia No.39 Tahun 1999
Dalam UU RI No. 39 Tahun 1999 pada tanggal 23 September 1999, mengenai Hak Asasi Manusia dapat disederhanakan sebagai berikut :
1. Hak Untuk Hidup (Pasal 9)
2. Hak berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (Pasal 10)
3. Hak untuk Mengembangkan Diri (Pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan 16)
4. Hak Memperoleh Keadilan (Pasal 17, 18 dan 19)
5. Hak atas Kebebasan Pribadi (Pasal 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26 dan 27)
6. Hak atas Rasa Aman (Pasal 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34 dan 35)
7. Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36, 37, 38, 39, 40, 41 dan 42)
8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43 dan 44)
9. Hak-hak Wanita yang perlu di hormati (Pasal 45, 46, 47, 48, 49, 50, dan 51)
10. Hak-hak Anak yang perlu dihargai (Pasal 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66)