Menghidupkan Peran Kritis Islam

Menghidupkan Peran Kritis Islam

http://www.freelists.org/archives/ppi/04-2004/msg00214.html
Oleh :
Ahmad Fuad Fanani
Direktur al-Maun Center for Islamic Transformation, Jakarta

Saat ini, pandangan Barat terhadap umat Islam dan Dunia Ketiga, umumnya
dibakukan dalam bentuk hegemoni kapitalisme yang dibungkus dengan slogan
globalisasi. Dalam globalisasi, secara mendasar tersimpan bias dan kepentingan
kolonialisasi terhadap dunia ketiga. Globalisasi merupakan bentuk improvisasi
dan evolusi yang paling mutakhir dari ideologi kapitalisme yang sebelumnya
pernah terbukti membangkrutkan kehidupan masyarakat negara berkembang.
Globalisasi adalah produk Barat yang paling canggih setelah sebelumnya mereka
melakukan hegemoni lewat jalur kolonialisasi dan imperalisme budaya. Dalam
kolonialisasi, mereka menghegemoni umat manusia dengan jalan kekerasan dan
perampasan hak-hak kemerdekaan sebuah bangsa. Sedangkan pada imperalisme,
mereka menggunakan hegemoni budaya lewat produk-produk pengetahuan yang diimpor
ke negara Dunia Ketiga agar tetap tergantung kepada Barat.
Menurut Edward Said (Orientalism, 1990), proses kolonialisasi lewat jalur
budaya inilah yang hingga sekarang masih membentuk pola pikir dan pandangan
bias Barat terhadap semua produk pemikiran dan kreativitas masyarakat Dunia
Ketiga. Dalam pola hegemoni dan kolonialisasi ini, maka semua yang berasal dari
Timur dianggap sebagai sesuatu yang tidak beradab, tidak modern, tidak
demokratis, tidak pluralis, dan label negatif lainnya. Oleh karenanya, semuanya
harus diganti dengan produk pengetahuan Barat yang dianggap sebagai super power
dalam segala bidang kehidupan.

Dalam globalisasi ini, semua hal yang bersifat sosial dan pembelaan terhadap
orang marjinal dianggap tidak berlaku lagi di dunia. Soalnya, semua hal
ditentukan oleh individu, kekuatan pasar, dan harga materi. Oleh karenanya,
paham solidaritas dan perlindungan terhadap yang lemah dianggap sebagai budaya
primitif yang tidak lagi kompatibel dengan perkembangan zaman. Orang yang kuat
dan berkuasa secara ekonomi dan politiklah yang akan menang, begitu juga
sebaliknya. Yang lebih urgen dilakukan adalah bagaimana menginvestasi materi
sebagai modal usaha, mengundang investor, melakukan swastanisasi perusahaan
publik, menyewa konsultan luar negeri, menerima pinjaman dana luar negeri,
serta mengerdilkan peran negara dalam menangani persoalan kemasyarakatan (James
Petras dan Henry Veltmeyer, 2001). Akibatnya, kesemua urusan kehidupan, sebisa
mungkin diserahkan dan diselesaikan oleh rezim kapitalisme global yang
bertuhankan pasar bebas dan uang. Dalam tatanan dunia Barat yang tidak bersi
kap adil itu, tentu saja nasib rakyat miskin dan kaum marjinal semakin
terpinggirkan dan menyedihkan.

Pembelahan sikap
Dalam menyikapi hegemoni globalisasi Barat ini, pandangan umat Islam umumnya
terbagi menjadi dua, yaitu: fundamentalis dan liberal. Pertama, bagi kaum
fundamentalis, Barat haruslah terus dilawan dan globalisasi harus ditolak
sekuat dan sekeras mungkin. Mereka menganggap, bahwa globalisasi adalah bentuk
hegemoni Barat yang berpandangan sekuler dan mendasarkan keyakinannya pada
manusia saja. Di tambah lagi, semua yang berasal dari Barat, baik ilmu
pengetahuan atau barang material, dianggap sebagai alat untuk membumihanguskan
ajaran Islam di muka bumi. Maka, sebagai jalan keluarnya, mereka akan menolak
semua produk Barat itu dan menyerukan untuk kembali ke bentuk otentik Islam.
Otentitas Islam ini, mereka maknai sebagai semua bentuk kehidupan, baik
pemikiran maupun perilaku masyarakat Islam saat Nabi Muhammad masih hidup.

Oleh karenannya, tidak heran jika dalam resistensinya, mereka suka memakai
identitas ala orang Arab seperti: jilbab panjang, membentuk komunitas ekskluif,
memanjangkan jenggot, istilah-istilah Arab, serta menganggap orang bukan Islam
sebagai orang yang pasti dijamin masuk neraka. Islamisasi, umumnya sering
mereka samakan dengan Arabisasi. Bentuk paling keras dari resistensi mereka
terhadap hegemoni Barat, tampak dari tindakan Usamah bin Ladin, Imam Samudra,
Amrozi, dan lainnya yang dengan tegas mengatasnamakan Islam dalam meledakkan
simbol-simbol "kekafiran". Orang-orang itu, mereka anggap sebagai pahlawan abad
ke-20 yang betul-betul memperjuangkan Islam.

Jihad melawan globalisasi, mereka yakini sebagai pilihan logis dan strategis
dalam melawan hegemoni Barat ini. Padahal, jika dipikir secara jernih, belum
tentu semua yang menjadi target sasaran itu adalah masyarakat Barat dan non
Islam. Justru, bisa jadi akibat perbuatan yang tergesa-gesa itu, ada masyarakt
Islam yang dirugikan karena mengalami musibah kehilangan pekerjaan, kecelakaan,
atau kematian. Selain itu, perbuatan tersebut tentu semakin menyenangkan Barat
dengan secara tidak langsung membuktikan tudingannya yang minor terhadap Islam
sebagai pelopor terorisme. Penggunaan kekerasan dan aksi simbolik dalam melawan
hegemoni Barat ini, juga hanya akan menentramkan dalam jangka pendek saja.
Padahal, perlawanan itu tentu tidak bisa dilakukan secara langsung dan sekali
saja.

Kedua, bagi kaum liberal atau yang juga sering menamakan dirinya kaum moderat,
hegemoni Barat tidaklah harus dilawan dengan kekerasan atau ditolak. Sejelek
apapun hegemoni Barat dan globalisasi, bagi mereka pasti terdapat segi-segi
nilai yang positif dan beradab. Alasannya, sebagai sebuah bangsa dan peradaban,
Baratlah yang saat ini dianggap paling modern, sesuai perkembangan zaman,
canggih dalam teknologi, dan mapan dalam tradisi ilmu pengetahuan. Selain itu,
kultur yang ada di masyarakat Barat pun, menurut mereka tentu lebih beradab
dibandingkan dengan bangsa lainnya. Hal itu tampak terlihat dari budaya
demokrasi, disiplin, kebebasan berpikir, penerimaan terhadap pluralitas,
penggunaan akal dalam menalar, serta penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia.

Menurut mereka, nilai-nilai itu haruslah ditransfer dalam masyarakat Islam.
Soalnya, bila hanya kembali pada masa lalu ketika zaman Nabi hidup, Islam
tidaklah dapat menyamai Barat dan bahkan akan cenderung tertinggal
terus-menerus atau kehilangan maknanya. Yang perlu dilakukan sekarang, menurut
mereka adalah "membaratkan Islam" agar masyarakatnya mampu berpikir rasional,
bersikap demokratis, dan bisa hidup di tengah zaman modern ini. Sebagai
konsekuensinya, mereka kebanyakan kehilangan sikap kritis terhadap Barat dan
cenderung menjadi "juru bicara" Barat di negara-negara Islam (Moeslim
Abdurrahman, 2004). Bahkan, bisa jadi mereka akan bersedia diperhadapkan dengan
kaum fundamentalis yang cenderung melawan Barat.

Model "pembaratan Islam" biasanya mereka lakukan dengan turut aktif membenarkan
hampir semua pandangan dan nilai Barat, serta keinginannya menerapkan secara
sama di negara yang kultur dan masyarakatnya berbeda. Model "pembaratan Islam",
sebetulnya merupakan bentuk ketidaktegasan sikap terhadap hegemoni Barat.
Selain itu, hal tersebut juga bentuk pengingkaran terhadap masa lalu dengan
melupakan begitu saja segala perlakuan Barat terhadap Islam. Padahal, tentu
tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam semua pandangan Barat, sebetulnya juga masih
tersimpan bias hubungan masa lalu dan terdapatnya perasaan terancam bila
eksistensi umat Islam semakin berkembang. Selain itu, dalam model ini juga
terdapat ketidakjelasan sikap, apakah mereka membela kepentingan Barat atau
membela Islam?

Peran kritis
Untuk tetap menemukan makna agama Islam di tengah pergulatan dengan
globalisasi, kedua sikap di atas tentu tidak selamanya sesuai untuk dilakukan.
Soalnya, dalam kedua sikap itu, energi umat seakan hanya dikerahkan untuk
menyetujui dan mengamini pendapat para elitenya. Padahal, yang lebih penting
dilakukan adalah segera menghidupkan kembali peran Islam yang kritis melihat
bahwa hegemoni Barat dan globalisasi. Terlebih lagi, Islam juga punya preseden
sebagai kekuatan sejarah dan peradaban yang tangguh dan terbukti pernah
melakukan revolusi pembebasan. Hal itu paling tidak tampak dari perjuangan Nabi
Muhammad saat berdakwah di Makkah ketika menggulingkan sistem monopoli ekonomi,
oligarki politik kesukuan, dan penyembahan tuhan-tuhan palsu. Kesemuanya itu
berhasil diubah dengan visi Tauhid untuk mencipatkan kehidupan yang egaliter,
emansipatif, dan demokratis. Maka, untuk memunculkan kembali peran kritis itu,
menurut Hassan Hanafi (1994) perlu segera dilakukan langkah revitalisa
si khazanah klasik, penentangan terhadap peradaban Barat, dan penentuan peran
terhadap realitas dunia Islam.

Dalam sikap terhadap Barat ini, maka kapitalisme dan globalisasi sebagai sistem
yang menyengsarakan rakyat dan menyebabkan marjinalisasi sosial kelas tertindas
serta masyarakat miskin ini, harus dipandang sebagai bentuk ketidakadilan yang
harus dilawan. Namun, perlawanan yang dilakukan tidaklah harus berbentuk aksi
kekerasan sebagaimana dilakukan kaum fundamentalis. Yang lebih penting adalah
dibangunnya kesadaran kritis pada umat, pendidikan rakyat, memunculkan kearifan
lokal, serta pembacaan baru terhadap kitab suci yang lebih memihak pada
keadilan sosial. Kesemuanya itu bertujuan untuk membangun sebuah tatanan dunia
baru yang lebih memperhatikan penghapusan ketidakadilan eksploitasi ekonomi,
penindasan politik, hegemoni kultural, serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Dalam sikap teologis yang baru ini, relasi antara teks dan konteks
dalam menafsirkan kitab suci, haruslah senantiasa dilakukan. Dengan demikian,
teks akan benar-benar hidup dalam realitas empiris dan b
isa mengubah tatanan masyarakat ke arah transformasi sosial.

Untuk membumikan visi Islam yang kritis ini, tentu saja diperlukan sebuah
strategi. Strategi yang dibangun hendaknya berasal dari bawah dan betul-betul
mewakili aspirasi masyarat miskin dan marjinal. Selain itu, analisis sosial
terhadap realitas sosial yang terus berubah haruslah terus dilakukan secara
teliti dan cermat. Oleh karenanya, untuk mewujudkan hal itu sangat diperlukan
kerja sama antara para teolog, analis ilmu sosial, aktivis sosial, para
profesional saleh, serta tokoh masyarakat yang penuh komitmen. Sebab,
kepemilikan manusia akan kemanusiaannya yang dihegemoni oleh Barat dan
globalisasi, harus direbut dan diperjuangkan terus menerus secara bersama-sama.
Hegemoni Barat yang menindas umat Islam dan Dunia Ketiga, harus ditumbangkan
agar tercapai tata dunia baru yang berprinsip kemerdekaan, kebebasan, dan
keadilan.


[Non-text portions of this message have been removed]
NOTA ORDER (SUFIJAYA SEMARANG)

TULIS NAMA BARANG YANG DIPESAN :

1. jumlah pesanan 2. Nama produk *
Contoh : 10 tuntunan sholat penerbit toha putra + 10 keistimewaan asmaulhusna di jaman modern penerbit sufijaya
Keterangan
contoh : tuntunan sholatnya yang kecil, yang harganya 4000 (jika tidak ada kosongi saja)

TULIS BIODATA LENGKAP PENGIRIMAN(untuk menentukan ongkos kirimnya)

Nama lengkap *
Alamat lengkap *
Nomer telpon / handphone *

REKENING REFUND (PENGEMBALIAN UANG) PELANGGAN

Dibutuhkan jika tiba2 terjadi setelah pelanggan transfer mendadak stok habis maka kami mengembalikan uang transfer sepenuhnya tanpa potongan. jika rekening refund menyusul lewat sms maka di kosongi saja

NAMA BANK

contoh : BRI KCP cab tlogosari semarang
Atas Nama :
Contoh : Tahif Mustabiq Sufi
Nomer rekening :
contoh : 1138-01-002149-50-1
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image: [Refresh Image] [What's This?]